Coping with Limitations
Coping with Limitations
Tulisan ini seharusnya berada paling depan, di awal blog yang sudah lama mati suri karena
Kenapa Ponselgrafer? Kenapa tidak? *keplak*
Lima tahun terakhir, dunia fotografi mengalami era pasang, dengan makin
Pasar kamera tidak hanya semata-mata didorong oleh produsen, ada faktor eksternal yang mendongkrak yakni bergesernya gaya hidup yang kian
Itulah sebabnya, kini kamera membanjiri pasar seperti Jalan Cihampelas di saat hujan deras. Nikon, Canon, maupun Olympus menyediakan berbagai model. Tidak lagi membuat barang secanggih mungkin tapi harus bisa menjawab kebutuhan para konsumen yang makin aneh-aneh.
Itulah kenapa, kita kian mudah menemukan kamera berwarna jambon, atau memiliki fitur mengunggah langsung ke sosial media. Itu hal yang tidak dibutuhkan James Nachtwey saat meliput perang, tapi percaya atau tidak, sekarang menjadi salah satu pertimbangan pasar.
Perkembangan teknologi tersebut kini juga diadopsi dalam teknologi ponsel. Telepon genggam yang mengawali teknologi penyematan kamera dengan kualitas yang-penting-berwarna kini bisa ikut dalam perlombaan kualitas. Bila menggunakan patokan megapiksel, sudah bukan barang baru lagi bila kita melihat punggung ponsel dan mendapati angka 5-8 MP di sana. Angka yang sama sudah bisa ditemukan di kamera saku generasi 1 tahun ke belakang (ada juga kamera yang masih memakai 8 MP).
Keunggulan ponsel berkamera adalah kualitas dalam genggaman tangan. Leher kita tidak lagi harus berkalung camera strap bertuliskan merk kamera atau mungkin nama majalah penjelajah karena semua ada dalam genggaman tangan. Dengan ukuran yang kecil, kita tidak akan terlalu banyak memancing perhatian bila mengambil gambar. Masyarakat masih menganggap orang yang memotret dengan ponsel niatnya untuk dokumentasi atau dipakai sebagai wallpaper di ponselnya.
Keunggulan lain adalah konektivitas. Era smartphone yang memungkinkannya terhubung dengan internet membuat pengguna ponsel berkamera gampang mengirimkan hasil jepretan ke dunia maya. Mau dikirim sebagai surat elektronik, bisa. Sebagai foto di Facebook, bisa. Keunggulan ini yang membuatnya selangkah lebih maju dibandingkan SLR karena mereka harus memindahkan ke perangkat lain yang terhubung ke internet. Kamera dengan fitur mengunggah ke sosial media yang disebut sebelumnya hanya memakai teknologi Wifi.
Dengan sistem operasi yang dipakai, baik Windows, iOS, maupun Android, membuat hasil jepretan bisa langsung diulik sambil jalan. Ada ratusan/ribuan aplikasi pengolah gambar yang bisa dipakai sambil jalan. Tentu saja ini tidak lebas dari fenomena meningkatnya kecelakaan lalu lintas akibat banyak orang yang jalan sambil tertunduk.
Kelebihan sudah, sekarang masuk kepada kekurangan ponsel berkamera. Karena menyatu dengan ponsel yang senantiasa terhubung dengan jaringan penyedia seluler (dan ditambah layar sentuh), memunculkan satu masalah: batere. Kalau sering njepret gambar, dijamin batere abis dan kita akan kesulitan untuk menelpon atau terhubung dengan internet.
Secara kodrat -untuk saat ini- teknologi kamera belum digarap serius oleh produsen ponsel sehingga masalah seperti jeda pengambilan gambar sangat terasa. Kamera ponsel yang mengandalkan sensor seadanya membuatnya terbatas pada keadaan redup cahaya sehingga kualitas dikorbankan dan muncullah gambar seperti berpasir.
Alasan itulah di balik blog yang dibuat. Selain
Ponsel dan Fotografer, dua kata itulah yang saya kawin silang sehingga menghasilkan istilah ponselgrafer.
Blog ini tidak bermaksud untuk mengangkat ponsel berkamera dan menjelek-jelekkan kamera konvensional...Hanya saja, pengen bikin aja hahaha
*tulisan dibuat bersamaan dengan Hari Blog Nasional yang ga ada hubungannya sebetulnya...
![]() |
| Bapak ini bukan yang nulis blog maupun terlibat dalam pembuatan blog. Tapi pisang epe nya manis banget :) |

